Kamis, 02 April 2015

Pertemuan 4 SIP (31-3-15) - Konversi Peta Konvensional (Peta Cetak) Ke dalam Model Vektor


Tabel 1 Pemodelan Dasar Data Geo-Spasial


Tabel 2 Penempatan Data Spasisal dan Non-Spasial


Tabel 3 Perbedaan Peta Konvensional dan Peta Digital
No
Konvensional
Digital
1
Statis tidak harus merubah data
Statis Dan Dinamis
2
Proses Updating Mahal harus buat peta lagi
Proses Updating Murah
3
Rigid
Fleksibel
4
Diskrit (Lembar Per Lembar)
Kontinu Dan Yang Perlu Saja
5
Analisis Dan Modeling Secara Langsung Tidak Mungkin
Analisis Dan Modeling Secara Langsung Sangat Mungkin
6
Menurunkan (Generate) Data Perlu Interpretasi
Menurunkan (Generate) Tidak Perlu Interpretasi


Konsep Vektor dan Raster



Proses Rasterisasi 


Sumber: Bahan Kuliah SIP Universitas Islam Bandung

Pertemuan 3 SIP (24-3-15) - Sistem Penomoran Indeks Peta BIG



Menurut PP 10 Tahun 2000 disebutkan bahwa peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur alam dan atau buatan manusia, yang berada di atas maupun di bawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala tertentu.
Salah satu peta yang dihasilkan oleh BAKOSURTANAL adalah Peta Rupabumi Indonesia (RBI). Peta RBI yang dihasilkan oleh BAKOSURTANAL meliputi skala 1:1.000.000, 1:250.000, 1:100.000, 1:50.000, 1:25.000 dan 1:10.000 dimana seluruh wilayah Indonesia dibagi ke dalam grid-grid ukuran peta yang sistematis.
Semua lembar peta tepat antara satu dengan lainnya, demikian pula ukurannya sama untuk setiap lembar. Ukuran lembar peta tergantung dari skala peta yang dibuat. Ukuran lembar Peta Rupabumi Indonesia mengacu pada sistem grid UTM seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Ukuran lembar peta berdasarkan skala peta
Skala Peta
Ukuran Lintang (L)
Ukuran Bujur (B)
1 : 1.000.000
4 °
6 °
1 : 500.000
2 °
3 °
1 : 250.000
1 °
1 ° 30’
1 : 100.000
30‘
30’
1 : 50.000
15’
15’
1 : 25.000
7’ 30”
7’ 30”
1 : 10.000
2’ 30”
2’ 30”

Dari Tabel 1 dapat dilihat terjadi beberapa variasi luas cakupan area peta, sehingga pembagian suatu nomor lembar peta (NLP) memberikan jumlah matriks yang tidak seragam, misalnya berjumlah 4 atau 9. Sistematika pembagian ukuran peta skala 1:1.000.000 hingga 1:10.000 seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Sistematika Ukuran Peta (dari skala 1:1.000.000 sampai 1:10.000)
Setiap negara mempunyai sistem penomoran peta masing-masing. Oleh karena itu nomor peta umumnya unik. Sistem penomoran Peta Rupabumi Indonesia dalam bentuk kode numerik. Dari nomor tersebut dapat diketahui lokasi dimana suatu daerah berada lengkap dengan skala petanya.
Sistematika penomoran indeks peta di Indonesia dimulai dari 900 BT dan 150 LS dan seterusnya hingga ke arah Utara dan ke arah Timur. Sistem penomoran untuk lembar Peta Rupabumi Indonesia dimulai dari skala 1:250.000 (4 digit) lalu diturunkan sampai ke skala 1:10.000 (8 digit).
Urutan penomoran Peta Rupabumi yang diterbitkan BAKOSURTANAL mengikuti aturan tertentu dimana secara skematis penomorannya tersaji pada Gambar 2 dan keterangan untuk setiap pembagian wilayah dan sistematika penomorannya tersaji pada Tabel 2. Gambar 2 adalah contoh untuk nomor 1209 yang merupakan nomor untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.

Gambar 2. Urutan Penomoran Peta Rupabumi Indonesia

Tabel 2. Seri Peta Rupabumi Indonesia
Nomor NLP
Keterangan
1209
Nomor lembar peta skala 1 : 250.000, format 1 ° x 1 ° 30’. Satu NLP dibagi menjadi 6 NLP pada skala 1 : 100.000 masing-masing berukuran 30’ x 30’
1209 - 1
Nomor lembar peta skala 1 : 100.000, format 30’ x 30’. Satu NLP dibagi menjadi 4 NLP pada skala 1 : 50.000 masing-masing berukuran 15’ x 15’
1209 - 43
Nomor lembar peta skala 1 : 50.000, format 15’ x 15’. Satu NLP dibagi menjadi 4 NLP pada skala 1 : 25.000 masing-masing berukuran 7’ 30” x 7’ 30”
1209 - 224
Nomor lembar peta skala 1 : 25.000, format 7’ 30” x 7’ 30”. Satu NLP dibagi menjadi 9 NLP pada skala 1 : 10.000 masing-masing berukuran 2’ 30” x 2’ 30”
1209 - 6229
Nomor lembar peta skala 1 : 10.000, format 2’ 30” x 2’ 30”


Sumber: http://www.bakosurtanal.go.id/

Pertemuan 4 PCD (20-3-15) - Kelemahan dan Kelebihan Inderaja Satelit

Kelemahan
a.   Hanya dapat menegenalobjek dimuka bumi
b.   Media antara satelit dan permukaan merupakan kedala khusus untuk sensor optik
c.   Hanya memberikan inforasi yan gtepat sesuai dengan kemampuan sensor (spasial, spektral,radiometri maupun temporal)
d.   Ketergantungan pada pihak asing masih dominan
e.   Untuk mendapatkan hasil ketelitian yang tinggi sangat diperlukan data-data lapangan sebagai control (GCP)
Kelebihan
a.   Pengamatan lebih menyeluruh dan mencakup area relatif luas, tergantung dari sensor dan wahananya
b.   Dilakukan secara kontinu
c.   Satelit inderaja didesain untuk waktu yang cukup lama antara 2-5 tahun atau lebih
d.   Dapat membeli data selama belum adanya hukum antariksa internasional
e.   Untuk satelit telekomunikasi atau satelit meteorologi umumnya sangat luas yang dapat digunakan secara kontinu
f.    Untuk penggunaan gelombang mikro sangat membantu untuk di daerah yang tertutup awan (radar/lidar)

Sebuah satelit umumnya mengikuti orbit elips mengelilingi bumi. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu revolusi dari orbit disebut periode orbit. Jejak Satelit sebuah jalan di permukaan bumi, yang disebut track tanah, seperti bergerak melintasi langit. Sebagai bumi di bawah ini berputar, jejak satelit keluar jalan yang berbeda di lapangan di setiap siklus berikutnya. Satelit penginderaan jauh sering diluncurkan ke orbit khusus seperti bahwa satelit mengulangi jalan setelah interval waktu yang tetap. Interval waktu ini disebut siklus mengulang dari satelit.
Satelit pengamat Bumi biasanya mengikuti synchronousorbits matahari. Sebuah orbit sinkron matahari merupakan orbit nearpolar yang ketinggian sedemikian rupa sehingga satelit akan alwayspass atas lokasi pada lintang diberikan pada solartime lokal yang sama.

Geostationary Orbits
Jika satelit berikut sebuah orbit sejajar dengan garis khatulistiwa ke arah yang sama dengan rotasi bumi dan dengan periode yang sama 24 jam, satelit akan muncul stasioner berkaitan dengan permukaan bumi. Orbit ini adalah orbit geostasioner. Satelit pada orbit geostasioner terletak di dataran tinggi 36.000 km. Mengorbit ini memungkinkan satelit untuk selalu melihat daerah yang sama di bumi. Sebuah wilayah besar bumi juga bisa ditutupi oleh satelit. Orbit geostasioner yang umum digunakan oleh satelit meteorologi.


Gambar 1 Geostasioner Orbit dan jangka waktu tempuhnya

Gambar 2 Geostasioner Orbit
Near Polar Orbits
Sebuah orbit kutub dekat adalah satu dengan bidang orbit miring pada sudut kecil terhadap sumbu rotasi bumi. Sebuah satelit berikut dengan benar dirancang dekat orbit kutub lewat dekat kutub dan mampu menutupi hampir seluruh permukaan bumi dalam siklus berulang.

Gambar 3 Near Pola Orbit
Sun Synchronous Orbits
Satelit pengamat Bumi biasanya mengikuti synchronousorbits matahari. Sebuah orbit sinkron matahari merupakan orbit nearpolar yang ketinggian sedemikian rupa sehingga satelit akan alwayspass atas lokasi pada lintang diberikan pada solartime lokal yang sama. Dengan cara ini, kondisi solarillumination yang sama (kecuali untuk variasi musiman) dapat dicapai untuk foto dari lokasi tertentu yang diambil oleh satelit.

Gambar 4 Sun Synchronous Orbit



Kesalahan Pada Citra Satelit

Kesalahan sistematik pada umumnya merupakan kesalahan tetap, mudah diprediksi sehingga dapat dilakukan lebih awal, baik sebelum satelit diterbangkan maupun selama penerbangan. Sementara kesalahan non sistematik dapat dijumpai pada kesalahan non sistematik berkaitan dengan titik-titik dipermukaan terhadap pengukuran sensor dan sistem sensor. Dalam pengindraan jauh, kesalahan sistematik dan mom sistematik dijumpai pada kesalahan radiometric, atmosferik dan geometrik. Maka proses awal dalam pengolahan citra (image processing) adalah melakukan koreksi radiometrik, atmosferik dan geometrik.
1.       Koreksi Radiometrik
Koreksi Radiometrik dilakukan pada kesalahan oleh sensor dan sistem sensor terhadap respon detektor dan pengaruh atmosfer yang stasioner. Koreksi radiometrik dilakukan untuk memperbaiki kesalahan atau distorsi yang diakibatkan oleh tidak sempurnanya operasi dan sensor, adanya atenuasi gelombang elektromagnetik oleh atmosfer, variasi sudut pengambilan data, variasi sudut eliminasi, sudut pantul dan lain-lain yang dapat terjadi selama pengambilan, pengiriman serta perekaman data. Spesifikasi kesalahan radiometric adalah:
·         Kesalahan sapuan akibat pemakaian Multi Detektor dalam mengindra garis citra.
·         Memperkecil kesalahan pengamatan detektor yang berubah sesuai perubahan waktu
·         Kesalahan berbentuk nilai digital yang mempunyai hubungan linier dengan tingkat radiasi dan panjang gelomang elektromagnetik.
·         Koreksi dilakukan sebelum data didistribusi.
·         Koreksi dilakukan dengan kalibrasi cahaya yang keluar dari detektor dengan mengarahkan scanner pada filter yang disinari secara elektronik untuk setiap sapuan.
·         Kesalahan yang dapat dikoreksi otomatis adalah kesalahan sistematik dan tetap, yang tetap diperkirakan sebelumnya.
·         Kesalahan garis scan dapat dikoreksi dengan penyesuaian histogram tiap detector pada daerah-daerah homogeny misalnya diatas badan air, apabila ada penyimpangan dapat diperbaiki.
·         Kesalahan bias atau pengaturan kembali detektor apabila mean dan median detektor berbeda.
Koreksi radiometrik oleh respon detektor dipengaruhi oleh jumlah detektor yangdigunakan dalam pengindraan jauh adalah untuk merubah radiasiyang ditangkap sensor menjadi harga voltage dan kecerahan. Kesalahan yang ditimbulkan oleh detektor secara individu adalah:
v  Line Dropout terjadi apabila salah satu detektor salah fungsi pada satu sapuan , maka nilai kecerahan pada pixel-pixel tertentu berada pada satu baris menjadi nol. Koreksi dilakukan pada setiap pixel dengan baris scan buruk. Hasilnya adalah citra yang telah diinterpretasi pada setiap baris n yang lebih mungkin diinterpretasi dari pada baris hitam horizontal diseluruh citra.
v  Stripping atau bounding terjadi apabila detektor tidak benar-benar salah tetapi meragukan dan perlu dikoreksi atau direstorasi agar mempunyai kontras yang sama dengan detektor yang lain pada setiap sapuan. Koreksinya adalah identifikasi garis buruk pada setiap sapuan menggunakan histogram dari tiap n detektor pada daerah homogen.
v  Line start terjadi apabila dalam pengumpulan data sistem scanning mengalami kegagalan penyapuan di awal garis scanning atau secara tiba-tiba detektor berhenti sehingga mengakibatkan nilai kecerahan nol. Koreksi kesalahan dari line start dapat dilakukan dengan interpolasi nilai kecerahan dari pixel hasil scan bagus. Namun kesalahan yang terjadi secara acak sulit untuk dikoreksi.
2.      Koreksi Geometrik
Data penginderaan jauh pada umumnya mengandung kesalahan (distorsi) geometric, baik sistematik maupun non sistematik, merupakan kesalahan yang diakibatkan oleh jarak orbit atau lintasan terhadap obyek dan pengaruh kecepatan platform. Kesalahan geometric terdiri dari dua kelompok, yaitu :
·         Kesalahan internal yaitu kesalahan yang dapat dikoreksi dengan cepat, menggunakan data dari platform. Kesalahan internal dapat dikoreksi berdasarkan analisis karakteristik sensor meliputi kemiringan sken, ketidaklinieran kecepatan cermin sken, distorsi panoramic, kecepatan pesawat angkasa, dan perspektif geometri.
·         Kesalahan eksternal yaitu kesalahan yang tidak dapat dikoreksi tanpa memperhitungkan titik – titik control permukaan dari permukaan bumi yang memadai. Kesalahan ini hanya dapat dikoreksi dengan menggunakan titik – titik control permukaan, yang berhubungan dengan system ketinggian sensor (roll, pitch, dan jaw), dan ketinggian satelit.
Selain itu, kesalahan geometric terbagi menjadi dua macam, yaitu : kesalahan sistematik dan kesalahan non sistematik. Penyebab kesalahan (distorsi) geometric sistematik dan non sistematik pada data citra satelit seperti dideskripsikan sebagai berikut :
Penyebab Kesalahan Sistematik
v  Scan skew, karena gerakan ke depan platform selama waktu yang diperlukan pada setiap sapuan.tidak tegak lurus tetapi sedikit miring, akan menimbulkan distorsi geometric “cross – scan”.
v  Distorsi panoramic : citra daerah permukaan sebanding denagn tangent sudut scan daripada terhadap sudut itu sendiri, menimbulkan distorsi “along – scan”.
v  Kecepatan platform : perubahan keecepatan platform, meneyebabkan “ground track” ditutup oleh perubahan mirror scan berturutan menimbulkan distorsi “alang – track scale”.
v  Rotasi bumi : mengakibatkan pergeseran “ground swath”, menimbulkan distorsi “along – scan”.
v  Perspektif : dalam beberapa aplikasi citra MSS menggambarkan proyeksi titik – titik di bumi dengan tangent bidang terhadap bumi, dimana semua garis proyeksi tegak lurus pada bidang.
Penyebab Kesalahan Non Sistematik
·         Ketinggian (altitude)
·         Posisi
Perbedaan Antara Kesalahan Sistematik dan Non Siostematik. Secara garis besar, perbedaan antara kesalahan sistematik dan non sistematik adalah sebagai berikut :
A.    Sistematik : dapat diperkirakan, dikoreksi otomatis, antara lain :
·      Rotasi bumi selama akuisisi
·      Kelengkungan bumi
·      Lebar medan pandang sensor
·      Ketidaklinieran kecepatan scan
·      Respon spectral terhadap atmosfer (absorbs dan hamburan selektif)
B.    Non Sistematik : sukar diperkirakan, antara lain :
·      Sensor tidak ideal
·      Variasi ketinggian platform
·      Aspek perbandingan
·      Efek panoramic
·      Kesalahan instrument sensitifitas detector
Untuk mengoreksi posisi daerah terutama oleh ahli kebumian ada dua cara, yaitu :
v  Rektifikasi :Proses perubahan geometri daerah citra menjadi datar (planimetrik)

v  Registrasi: Digunakan untuk membandingkan dua citra dari dua tanggal yang berbeda, unutk melihat ada tidaknya perubahan dilokasi tersebut




sumber:
http://rahmiariani.blogspot.com/2009/04/koreksi-citra.html
bahan kuliah PCD Universitas Islam Bandung